Benteng ini terletak di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kecamatan Kuatnana, Desa Tetaf, Propinsi
Nusa Tengara Timur (NTT), Indonesia. Untuk menuju Benteng None dari Kota Kupang
kita bisa menggunakan jasa Trevel (Rp 50.000) atau Bus (Rp 30.000). Dari Kupang menuju Benteng diperlukan total
waktu sekitar 3 Jam. Dari Kota Soe menuju
Oebesa-Oekamusa-Mnelalete-Neonmat-Tublopo-Nusa-Lakat dan Tetaf. Benteng ini
terletak di pinggir jalan sebelah kanan dengan Gapura selamat datang. Dari
gapura kita harus berjalan masuk sekitar 10 menit melewati rumah penduduk (
Marga Tauho) dengan mengikuti arah penunjuk jalan menunju Benteng. Namun
sebelum masuk ke Benteng kita harus meminta ijin dan ditemani oleh Penjaga
benteng yang juga merupakan Keturunan Ke-7 dari pewaris Benteng, Bapak Anderias
Tauho yang akan memberi penjelasan seputar benteng.
Benteng ini didirikan
pada Tahun 1820 saat kekuasaan Usif/Raja Amanuban, Usif Nope yang mendiami di
Sonaf /Istana Niki - niki. Benteng ini didirikan karena sering terjadinya,
permusuhan antara suku yang satu dengan suku lainnya, dimana suku lain itu
seperti suku Amanatun dan Mollo. Saat itu belum ada agama sehingga mereka
mempercayai Batu, kayu. Benteng ini memiliki luas 80 X 44 Meter, dengan beberapa
bukti peninggal sejarah yang terdapat di dalamnya yaitu: Pagar batu, Rumah
tradisional ( Lopo dan Ume Kbubu ), Pene, Bak-bak, Otenaus, Bol Nu'ut,
Perlengkapan Perang (Kalewang/parang, senapan tumbuk dan Tombak).
Sebagian sisi benteng
dipagar dengan menggunakan batu dan sejenis tumbuhan berduri (Kaktus), dan
bagian lainnya terdapat jurang sehingga musuh akan sulit masuk. Lopo digunakan sebagai tempat Musyawarah
sedangkan Ume Kbubu sebagai tempat tidur dan memasak yang berada pada posisi
tengah benteng. Pene adalah tempat yang terletak di sisi kiri dimana terdapat
pepohonan besar dan sebuah kayu setinggi 1 meter yang tertancap di tanah, Pene
merupakan tempat untuk mengintai musuh. Ote’Naus merupakan tempat untuk Ritual mengetahui
apakah saat perang nanti akan kalah dan menang. Media yang digunakan adalah
Kayu sekitar 1 meter, satu telur ayam, arang, dan piring. Media pertama yang
digunakan adalah dengan melihat tikaman posisi kayu pada tiang penyangga lopo
kecil. Jika saat kayu ditelentangkan dan ujung ibu jari menyentuh tiang maka
akan menang dan sebaliknya. Selanjutnya mengunakan telur yang di beri garis
menggunakan arang mewakili 4 arah Timur, Barat, Utara dan Selatan, telur
kemudian di pecahkan kesebuah wadah jika warnanya bening akan menang sebaliknya
jika berwarna merah akan mengalami kekalahan. Bol Nu’ut merupakan sebuah lubang
kecil pada pagar batu untuk meletakan senjata untuk menembak musuh.
Saat di medan perang
jika musuh dalam jarak jauh menggunakan senapan tumbuk, jika jarak dekat
menggunkan tombak atau Kalewang/Parang. Saat menang Kepala Musuh akan dipotong
dan di bawah pulang ke benteng. Kemudian dilanjutkan dengan Upacara kemenangan
yang disebu “Sbo’ Ma Meo” selama 4 hari 4 malam. Sementara itu kepalah musuh
diletakaan diatas para-para yang dibawahnya diberi api untuk mengasapai kepalah
musuh denga tujuan agar otak dan darahnya kering sehingga saat dipersembahkan
kepada Raja tidak bau. Saat kepala musuh di persembahkan maka pahlawan perang
akan mendapat gelar ‘”Meo” sementara benteng akan disebut “Kot”.
Selain upacara perang
juga terdapat upacara menjelang dan sesudah panen yang disebut Poit Pah.
Upacara ini dilakuan mejelang musim tanam (November-Desember) dan musim Panen
(April-Juni). Dalam upacara ini menggunakan Babi jantan warna hitam. Upacara
ini dilakukan diatas “Bak-bak” atau mesbah/altar yang tersusun atas batuan
dengan ditengahnya terdapat sebuah tiang atau pohon. Benih yang akan ditanam
diletakan diatas bak-bak kemudian dipercik darah babi hitam dengan menggunakan
daun kusambi dengan harapan agar mendapat hasil panen yang baik. Upacara panen
dilakukan untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah. Darah sembelihan ditampung
didalam tempurung kelapa kemudian diperciki pada hulu hasil yang ada.
Rahang babi yang di
sembelih akan di simpan dalam Lopo yang disusun berurutan sebagai hiasan.
Didalam lopo juga ada hiasan berupa anyaman binatang dari lontar. Lopo juga
digunakan untuk menyimpan makanan sehingga tiang lopo di beri papan berbentuk
lingkaran agar tikus tidak memakan hasil
panen. Dibagian atas lopo terdapat sebuah pintu masuk untuk menyimpan dan
mengambil hasil panen. Saat berkunjung terkadang kita bisa mengikuti upacara
adat yang dipimpin oleh kepala suku Bapak Kores Kohe Tauoh. Ditempat ini anda
juga bisa membeli tenunan dan berbagai
kerajinan masyarakat dari bahan dasar kayu dan bamboo yang diukir mulai dari
harga Rp 50.000. Saat berkunjung kita hanya perluh mengisi buku tamu dan
membayar secara sukarela untuk pemeliharaan.
|
Pintu untuk menyimpan bahan makanan di Lopo |
|
Pene |
|
Pene |
|
Bol Nu'ut |
|
Rahang Hewan yang digunakan saat Upacara |
|
Tiang Penyangga Lopo |
|
Bapak Anderias
Tauho, di Pene |
|
Bak-bak/Altar |
|
Bak-bak/Altar |
|
Mengecek Kemenangan Perang Dengan Menggunakan Tombak |
|
Otenaus |
|
Mengecek Kemenangan Perang Dengan Menggunakan Tombak |
|
Telur Yang Untuk Mengecek Kemenangan |
|
Tiruan Senjata yang digunakan saat perang |
|
Senjata Untuk Perang |
|
Lopo |
|
Kerajinan Ukiran |
|
Contoh Tenunan |
|
Gapura Benteng |
|
Pagar Batu dan Kaktus
| | |
|
|
|
Posting Komentar