Selasa, 06 September 2022

DESA ADAT WOLOGAI. KABUPATEN ENDE-NTT

 

Jika anda berkunjung ke Kota Pancasila Ende, Nusa Tenggara Timur, jangan lupa mampir ke salah satu Desa Adat yang letaknya sebelum Danau Kelimutu bernama Wologai. Lokasinya sekitar 30an kilo meter arah timur Kota Ende, tepatnya di Kecamatan Detusoko pada ketinggian sekitar1.045 mdpl. Jika dari Kota Ende, sebelum Kelimutu ambil belokan arah kiri sesuai papan petunjuk. Begitu tiba digerbang, parkir kendaraan anda, lalu menuju pos tiket. Disini pengunjung akan diberikan sarung tenun khas Ende untuk dikenakan saat masuk ke desa adat. Harga tiketnya terjangkau untuk anak-anak Rp. 10.000 dan dewasa Rp. 20.000/orang. Dari pos tiket kita akan berjalan kaki sekitar 150 meter menuju perkampungan adat sambil ditemani oleh seorang warga setempat yang akan memandu dan memberikan penjelasan.

Di bagian depan terdapat pohon beringin yang nampak sudah tua yang oleh warga diyakini ditanam oleh leluhur mereka yan setara dengan waktu pendirian kampung ini. Pada bagian dalam terdapat sekitar balasan rumah adat yang dibangun melingkari tumpukan bebatuan ceper yang  disusun mengerucut, dimana bagian atasnya digunakan sebagai altar untuk upacara adat.

Rumah adatnya berbentuk rumah panggung yang bagian bawahnya tak terlalu tinggi, biasanya untuk ternak. Fondasi bangunan ada berupa bebatuan ceper yang disusun menumpuk. Bangunannya menggunakan kayu dan beratapkan ijuk atau ilalalang. Bangunan beratapkan ilalang biasanya tidak tahan lama sekitar 3 tahun harus diganti sementara dengan bahan ijuk lebih tahan lama. Ada rumah yang ditempati, dan ada juga Rumah Suku berjumlah lima untuk menyimpan benda pusaka peninggalan leluhur. Sementara itu ada satu Rumah Besar yang hanya akan ditempati saat upacara adat.

Masing-masing rumah memiliki ukiran pada bagian depan papan berupa gambar senjata, hewan dan juga tanaman. Untuk memudahkan masuk kedalam rumah, didepan terdapat tangga. Keseluruhan bangunan terbagi menjadi dua bagian dalam dan luar. Bagian luar berfungsi sebagai balkon untuk menerima tamu atau bersantai. Pintu masuk kedalam rumah utama cukup unik dn berbeda seperti pintu pada umumnya. Satu hal yang cukup menarik adalah pada sisi kiri kanan pintu terdapat ukiran buah dada wanita, yang menurut warga setempat merupakan symbol kesuburan. Menurut pak Paulus yang memimpin kami berkeliling, ukuran ukiran ini mewakili ukuran wanita sang penghuni rumah. Bagian dalam rumah terdapat satu jendela, dua tungku tepat disamping kiri kanan pintu. Sementara bagian lainnya dibuat petak-petak dari kayu yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri.

Pengunjung dilarang untuk naik menuju altar, dan tidak boleh menyentuh salah satu batu yang berada di sisi kiri altar yang adalah “batu kutuk” guna menghindari terjadinya hal-hal yang tak di inginkan. Kaum wanita penghuni rumah yang saya temui sudah cukup berumur, ada yang 80an bahkan 100 lebih. Beberapa diantara mereka menjajakan barang mereka seperti kopi, dan kemiri yang dibungkus dengan plastic dengan harga terjangkau Rp. 10.000/bungkus. Ada juga salah satu bapak yang menjual berbagai jenis ukiran dengan harga berfariasi, mulai dari Rp. 100.000. Di pos penjagaan kita juga dapat membeli berbagai jenis produk kain tenun, kerajinan dan juga kopi. Ada juga kedai kopi yang menjual berbagai jenis minuman dan makanan.

Dalam setahun ada dua acara Ritual Adat besar yakni Panen ( Keti Uta ) pada bulan April dan  Tumbuk Padi ( Ta’u Nggua ) pada bulan September. Puncak acara Ritualnya, masyarakat dilarang menjalankan aktivitas hariannya selama 7 hari. Sesudah melaksanan Ritual biasanya warga akan melakukan tarian Gawi bersama diatas pelataran sebagai symbol kegembiaraan dan kebersamaan.



































Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search