Jika
anda berkunjung ke Kota Pancasila Ende, Nusa Tenggara Timur, jangan lupa mampir
ke salah satu Desa Adat yang letaknya sebelum Danau Kelimutu bernama Wologai. Lokasinya
sekitar 30an kilo meter arah timur Kota Ende, tepatnya di Kecamatan Detusoko
pada ketinggian sekitar1.045 mdpl. Jika dari Kota Ende, sebelum Kelimutu ambil
belokan arah kiri sesuai papan petunjuk. Begitu tiba digerbang, parkir kendaraan
anda, lalu menuju pos tiket. Disini pengunjung akan diberikan sarung tenun khas
Ende untuk dikenakan saat masuk ke desa adat. Harga tiketnya terjangkau untuk
anak-anak Rp. 10.000 dan dewasa Rp. 20.000/orang. Dari pos tiket kita akan
berjalan kaki sekitar 150 meter menuju perkampungan adat sambil ditemani oleh
seorang warga setempat yang akan memandu dan memberikan penjelasan.
Di
bagian depan terdapat pohon beringin yang nampak sudah tua yang oleh warga
diyakini ditanam oleh leluhur mereka yan setara dengan waktu pendirian kampung
ini. Pada bagian dalam terdapat sekitar balasan rumah adat yang dibangun melingkari
tumpukan bebatuan ceper yang disusun
mengerucut, dimana bagian atasnya digunakan sebagai altar untuk upacara adat.
Rumah
adatnya berbentuk rumah panggung yang bagian bawahnya tak terlalu tinggi, biasanya
untuk ternak. Fondasi bangunan ada berupa bebatuan ceper yang disusun menumpuk.
Bangunannya menggunakan kayu dan beratapkan ijuk atau ilalalang. Bangunan
beratapkan ilalang biasanya tidak tahan lama sekitar 3 tahun harus diganti
sementara dengan bahan ijuk lebih tahan lama. Ada rumah yang ditempati, dan ada
juga Rumah Suku berjumlah lima untuk menyimpan benda pusaka peninggalan leluhur.
Sementara itu ada satu Rumah Besar yang hanya akan ditempati saat upacara adat.
Masing-masing
rumah memiliki ukiran pada bagian depan papan berupa gambar senjata, hewan dan
juga tanaman. Untuk memudahkan masuk kedalam rumah, didepan terdapat tangga.
Keseluruhan bangunan terbagi menjadi dua bagian dalam dan luar. Bagian luar
berfungsi sebagai balkon untuk menerima tamu atau bersantai. Pintu masuk
kedalam rumah utama cukup unik dn berbeda seperti pintu pada umumnya. Satu hal
yang cukup menarik adalah pada sisi kiri kanan pintu terdapat ukiran buah dada
wanita, yang menurut warga setempat merupakan symbol kesuburan. Menurut pak
Paulus yang memimpin kami berkeliling, ukuran ukiran ini mewakili ukuran wanita
sang penghuni rumah. Bagian dalam rumah terdapat satu jendela, dua tungku tepat
disamping kiri kanan pintu. Sementara bagian lainnya dibuat petak-petak dari
kayu yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri.
Pengunjung
dilarang untuk naik menuju altar, dan tidak boleh menyentuh salah satu batu
yang berada di sisi kiri altar yang adalah “batu kutuk” guna menghindari
terjadinya hal-hal yang tak di inginkan. Kaum wanita penghuni rumah yang saya temui
sudah cukup berumur, ada yang 80an bahkan 100 lebih. Beberapa diantara mereka
menjajakan barang mereka seperti kopi, dan kemiri yang dibungkus dengan plastic
dengan harga terjangkau Rp. 10.000/bungkus. Ada juga salah satu bapak yang
menjual berbagai jenis ukiran dengan harga berfariasi, mulai dari Rp. 100.000. Di
pos penjagaan kita juga dapat membeli berbagai jenis produk kain tenun,
kerajinan dan juga kopi. Ada juga kedai kopi yang menjual berbagai jenis
minuman dan makanan.
Dalam
setahun ada dua acara Ritual Adat besar yakni Panen ( Keti Uta ) pada bulan
April dan Tumbuk Padi ( Ta’u Nggua )
pada bulan September. Puncak acara Ritualnya, masyarakat dilarang menjalankan
aktivitas hariannya selama 7 hari. Sesudah melaksanan Ritual biasanya warga
akan melakukan tarian Gawi bersama diatas pelataran sebagai symbol kegembiaraan
dan kebersamaan.
Posting Komentar