Pohon
Lontar yang akrab dengan sebutan pohon Tua’k oleh masyarakat Nusa Tenggara
Timur memegang peranan penting, khususnya bagi Kabupaten Rote Ndao. Pohon Tua’k
tumbuh bebas dalam jumlah banyak membuat daerah ini mendapat julukan Nusa
Lontar. Pohon ini dianggab sebagai pohon kehidupan karena sebagian besar
masyarakat bergantung hidup pada pohon yang keseluruhan bagiannya bermanfaat. Salah satu hasil olahan dari lontar yang cukup
dikenal luas adalah gula air. Gula ini berbentuk cair berwarna kecoklatan
dengan rasa manis mirip madu.
Awalnya
hasil sadapan bunga lontar berupa Nira berwarna bening yang disadap oleh kaum
pria saat pagi dan sore hari akan dimasak oleh kaum wanita pada tungku yang
biasanya dibuat dari tanah liat. Hasil sadapan akan dimasak kurang lebih 2-3
jam dengan api yang harus terus menyala. Agar tidak meluap selama dimasak, gula
biasanya dituang dari satu wadah ke wadah lainnya tergantung jumlah panas yang
didapat, terkadang juga menggunakan lemak kambing.
Rasa
gula air terkadang asam, menurut informasi yang saya peroleh hal ini disebabkan
karena saat menyadap haik atau wadah penampung nira tidak dibersihkan dengan
baik. Gula air biasanya dikonsumsi dengan cara dicampur dengan air kemudian
diaduk atau di goyang-goyang. Gula cair juga digunakan sebagai bahan pemanis,
contohnya untuk membuat kue solo atau cucur. Dalam kehidupan masyarakat Rote,
gula juga digunakan sebagai pengawet makanan, dimana daging dimasak dengan
menggunakan gula. Gula cair selain dikonsumsi sendiri dirumah, atau saat
berkebun juga dijual ke pasar tradisional dengan harga Rp. 10.000/botol atau
Rp. 70.000-100.000 per jerigen lima liter. Harga gula bergantung pada kualitas dan
musim, gula air juga digunakan sebagai bahan baku untuk membuat minuman
beralkohol “sopi”.
Posting Komentar