Kerap dikenal sebagai daerah dengan cuaca panas, namun
ada juga sebagian wilayah di Nusa Tenggara Timur yang memiliki cuaca dingin
khas pegunungan atau dataran tinggi. Salah satunya Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) yang beribukota So’e. Tak hanya keindahan pantai yang dikenal
luas karena keunikannya yakni pantai Oetune dan Kolbano atau dataran tinggi
Fatumnasi yang menakjubkan namun ada juga beberapa wilayah perbukitannya yang
tak kalah indah, salah satunya “Besteke” atau yang lebih dikenal dengan nama Fatukopa.
Besteke dan Fatukopa sendiri sebenarnya adalah dua lokasi
yang berbeda, Besteke merupakan salah satu padang cukup luas yang bagian
depannya berdiri kokoh bukit batu “Fatukopa” terpisahkan oleh lembah yang cukup
dalam dan curam. Sementara Fatukopa sendiri adalah bukit Kapur yang ditutupi
oleh beragam vegetasi khas hutan tropis.
Dalam bahasa Atoin Meto atau orang Timor Fatukopa berarti Batu Kapal
(Fatu = Batu Kopa = Kapal), hal ini karena bongkahan batu kapur ini jika
dilihat dari sisi tertentu memang tampak seperti kapal. Menurut legenda atau
cerita fatukopa memiliki nilai historis tersendiri karena dianggap sebagai
bahterah Nabi Nuh yang karam, dimana nenek moyang orang Timor berasal dari
sini. Wilayah ini ditempati oleh masyarakat Suku Dawan atau Timor yang
merupakan suku tertua di Pulau Timor, NTT. Bukit ini dianggab keramat dan tak
sembarang didaki dan harus melalui ijin kepala suku.
Jadi, sesungguhnya objek yang awal kemunculannya begitu
viral dan banyak didatangi oleh pengunjung ini, sebenarnya adalah Padang
Besteke yang menawarkan view Bukit Fatukopa yang magis. Penamaan Besteke
sendiri karena adanya pohon Acacia leucophloea atau Kabesak/Pilang yang sering
dihinggapi oleh tokek. Padang yang luas dengan panorama menakjubkan ini sangat
cocok untuk berkemah. Saat ini sudah mulai ditata sehingga sudah tersedia bak
sampah dan beberapa himbaun untuk menjaga kebersihan. Tak jauh dari sini
terdapat salah satu gereja yang menjadi pintu masuk. Pintu masuknya digembok,
dan jika ada pengunjung baru dibuka oleh penjaga yang rumahnya tepat berada
diseberang jalan, kami diminta membayar Rp. 10.000/mobil. Rumah penjaga ini
menyediakan fasilitas MCK dengan biaya sewa Rp. 5.000 sekali pakai.
Kunjungan kali ini bukanlah yang pertama bagi saya, namun
kali ini berharap bisa mendapatkan hamparan kabut yang belum pernah saya temui
sebelumnya. Kami berangkat dari Kota Kupang dan harus menempuh jarak sekitar
150an kilometer atau sekitar 4 jam lebih. Kami, mampir di Kota So’e untuk
mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan perjalanan menuju Oe’ekam, Kecamatan
Amnuban Timur melewati dua jembatan dengan konstruksi baja, namun dasarnya
hanya beralaskan kayu, sehingga saat lewat harus antre. Salah satu yang berbeda
adalah sudah ada pertashop didaerah ini, sementara akses jalannya masih sama
sempit, ada aspal mulus, ada juga yang rusak namun masih tergolong aman untuk
kendaraan roda dua dan empat. Di Oeekam sendiri terdapat ATM BRI dan Bank NTT
serta toko yang bisa memenuhi keperluan berkemah yang mungkin terlupakan. Dari
sini ambil jalan lurus sekitar 1,5 KM hingga tiba di belokan yang sebelah
kirinya terdapat Tugu dan papan penujuk menuju Fatukopa. Namun kondisi jalan
dari sini tak begitu baik, jadi sebaiknya ambil jalan lurus melewati Kantor
Desa Mnela Anin. Setelah melewati Gereje pada sisi kiri jalan, lurus terus
sekitar 50 meter ambil belokan pertama kiri lurus terus. Dari sini akses jalan
masuknya sedikit menantang karena sebagian berbatu lepas, dan berlubang. Tak
perluh khawatir tersesat karena sepanjang jalan tersedia papan penunjuk jalan
yang disponsori oleh salah satu bank.
Saat tiba beberapa diantara kami ada yang mendirikan
tenda, dan ada juga yang mengambil gambar dan vidio, hembusan angin yang cukup
keras, memaksa kami bekerjasama dalam membangun tenda. Untuk menghangatkan
badan sekaligus mendapatkan bara api untuk memanggang menu makan malam kami
menyalakan api unggun. Sambil menanti makan malam siap, ada yang membuat minum
dan menikmati snack untuk mengganjal perut, sambil ditemani irama musik.
Meskipun beberapa diantara kami baru pertama kali bertemu, namun suasana
keakraban begitu terasa.
Tak ada orang lain yang berkemah selain kami, soalah
memberi ruang khusus bagi kami, namun ada juga beberapa warga sekitar yang
datang entah untuk menikmati keindahan alam atau hanya sekedar untuk melihat
kami. Tak jauh dari tenda nampak tiga anak kecil yang seolah ingin mendekat
namun ragu-ragu, setelah didekati ternyata mereka membawa seikat kayu bakar
yang hendak mereka jual dengan harga Rp. 5.000/ikat. Akhirnya kami membeli beberapa
ikat kayu tambahan, karena kayu bakar yang kami beli dijalan sebelumnya dirasa
kurang. Sekitar pukul 19.00 WITA cahaya merah merona bulan yang muncul dari
balik bukit Fatukopa mengalihkan pandangan kami, biasan cahaya nampak seperti
sedang sunrise atau sunset, sungguh mempesona.
Setelah makan malam yang penuh dengan suasana kebersamaan dan kekeluargaan, kami kembali menikmati suasana malam sambil menikmati jagung bakar ditemani cahaya bulan yang begitu terang dan cerah. Sekitar pukul 03.15 nampak kabut tipis mulai menyelimuti lembah, namun tak lama kemudian berkurang, hilang dan muncul bergantian. Tak ingin kehilangan momen beberapa diantara kami sibuk mengabadikan momen ini. Semakin lama ternyata jumlah kabutnya makin banyak, kami sungguh beruntung. Cahaya kemerahan yang muncul dibalik bukit menghadirkan panorama lain, ya matahari akan segera terbit. Sekitar pukul 06.12 matahari muncul tepat disamping bukit, biasannya semakin menyempurnakan exotiknya lautan kabut yang seolah menyelimuti si magis fatukopa. Terimakasih semesta telah menghadirkan keindahan yang jarang ditemui bersama orang-orang hebat dan hangat.
PATUHI PROKES COVID-19
LET'S VISIT AND KEEP CLEAN !!!!
Follow MY IG : Nyonggalang
Posting Komentar